Blogspot SMK Gajah Mada Bandar Lampung

Kekerasan Pelajar karena Kelemahan Kurikulum

SEMARANG, KOMPAS.com — Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Ferdinand Hindiarto menilai, tindak kekerasan di kalangan pelajar terjadi akibat kurikulum pendidikan yang terlalu mementingkan aspek kognitif. Aspek kognitif yang dimaksudnya, kata Ferdinand, karena hanya berfokus pada materi-materi pelajaran yang diajarkan.

"Pelajar adalah kalangan muda yang memiliki energi besar. Namun, kurikulum pendidikan tidak mampu mengapresiasi kekuatan itu," katanya di Semarang, Selasa (22/11/2011), menanggapi kian maraknya aksi kekerasan di kalangan pelajar.
  
Ia menjelaskan, energi pelajar yang besar itu seharusnya diapresiasi sekolah secara proporsional. Misalnya, menyalurkan bakat siswa di bidang-bidang lain, seperti kesenian, olahraga, dan keterampilan.
Pelajar adalah kalangan muda yang memiliki energi besar. Namun, kurikulum pendidikan tidak mampu mengapresiasi kekuatan itu.
-- Ferdinand Hindiarto
"Kalau siswa hanya dituntut secara kognitif dalam kurikulum, mereka tentu kesulitan meluapkan kelebihan energinya dalam hal-hal lain yang positif. Akhirnya terjadilah kekerasan dan tawuran," kata Wakil Rektor III Universitas Katolik Soegijapranata ini.

Menurut dia, sekolah seharusnya mengakomodasi aspek afektif yang berkaitan dengan rasa dan empati, termasuk dalam mata pelajaran yang bersifat eksakta, seperti Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
  
Ia mengatakan, IPA adalah pelajaran yang teoretis dan kognitif. Akan tetapi, aspek psikologis dan afektif pun bisa diselipkan dalam pembelajarannya melalui praktik lapangan.

"Semua tahu IPA pelajaran eksakta. Namun, yang bisa diajarkan tak hanya kognitif, misalnya siswa bisa dilatih terjun ke lapangan untuk menanam mangrove agar mereka sadar kerusakan alam yang terjadi," paparnya.

Selain itu, kurikulum pendidikan yang cenderung mementingkan aspek kognitif ternyata membentuk persepsi di masyarakat bahwa seseorang yang tidak pintar secara kognitif berarti bodoh.

"Siswa tidak pintar Matematika dianggap bodoh, padahal siswa itu pintar catur atau mahir melukis. Saya lihat kurikulum semacam ini sudah mengakar, mulai dari jenjang dasar sampai menengah atas," katanya.

Mengenai tindakan bullying yang kerap terjadi di sekolah oleh senior terhadap yuniornya, menurut Ferdinand, sebaiknya hubungan antarpelajar, antarmahasiswa, termasuk dengan dosen dibentuk secara egaliter (setara) dan tidak ada keharusan penghormatan berlebihan dari yunior kepada seniornya.

Sumber Kompas
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright SMK Gajah Mada 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by coretan rizal | Published by Fr System and google